Langsung ke konten utama

Welcome 2018, I'm Ready To Rock and Roll

Benar adanya, orang kalau lagi bahagia itu lebih susah menuangkannya dalam bentuk apapun, termasuk rangkaian kata. Setelah diberi 2016 penuh tawa dari gunung ke lautan bareng teman-teman yang menyenangkan, 2017 ini masih juga diliputi gembira meski jarang beranjak dari tempat duduk, di rumah maupun di kantor. 2017 spektakuler! Sama spektakulernya seperti 2016. Thank God, semua luka di tahun-tahun sebelumnya sudah mengering, dan sembuh walau bekasnya tak akan pernah bisa hilang.

Tuhan begitu baik, menggantikan segala kecewa dengan begitu banyak berkah yang tiada henti-hentinya. Setelah di tahun 2016 dipertemukan dengan dia, dikenalkan lebih dekat, diuji ketahanan dan kesabaran, 2017 ini kami dipersatukan. Sujud syukur, karena menikah dengan Mas Gigih adalah salah satu keinginan yang saya tulis di awal tahun kemarin. Tanpa ekspektasi, hanya menyerahkan semua pada-Nya. Hanya mempercayakan segala mimpi-mimpi yang saya usahakan akan aman dan terkendali di tangan-Nya.

Bicara soal 2017, mungkin kamu bakal bosan, karena saya tak akan berhenti mengucap syukur atas segala yang sudah terjadi dan diberikan pada saya. Bertemu Rangga juga salah satu keinginan yang terwujud. Menemaninya dalam salah satu momen paling penting di hidupnya, memegang tangannya, menguatkan, dan memastikan bahwa saya ada. Ibu ada. Hunjaman peluk dan cium yang tak henti-hentinya, rasanya tak ingin diakhiri. Namun untuk sementara ini, kami memang harus berpisah lagi, entah sampai kapan.

Kalau saya boleh kasih saran, buat kamu yang merasa hidup ini berat, kecewa datang setiap saat, segalanya tak berpihak, mulailah belajar untuk legowo. Merelakan apa yang tak bisa kamu miliki, menerima apapun dan seberapapun yang kamu dapat, selalu bersyukur atas semuanya. Kamu mungkin bakal berpikir: enak aja lu ngomong, emang lu kira gampang?! Well, percayalah... Saya sudah membuktikannya sendiri. Dengan mengurangi ekspektasi, berhenti menggerutu, dan ikhlas, maka inilah saya sekarang: BAHAGIA!

Kilas balik 2017, di hari pertama bulan Januari, saya bikin claim bahwa tahun ini saya bakal bahagia. Postingan pertama saya di Instagram pun gambar tangannya, tangan yang ingin saya jadikan tempat berpegang sampai akhir hidup saya, lengkap pula dengan hashtag #2017BananaBahagia. Segalanya membaik sejak itu, setelah sedikit problematika kehidupan cinta yang akhirnya berhasil kami lewati. Januari sungguh bersahabat, dan menjadi awal yang baik bagi saya, dia, dan apapun yang mengikuti di belakang.



Februari, Maret, April, segalanya makin menyenangkan. Bulan Mei saya dipersunting KLN, dan dipercaya untuk kembali menduduki posisi yang sama seperti dua tahun lalu, hanya saja kali ini saya berdedikasi untuk Vemale. Kembali ke kantor ini sungguh menyenangkan. Memang banyak sekali hal yang berubah, tapi semua justru membuat kerja saya semakin mudah dan menyenangkan. More happy people, less drama, dan saya bersyukur telah diberi kesempatan untuk berada di tempat di mana semestinya saya berada.

Akhirnya ngerasain lagi betapa weekend adalah momen yang paling ditunggu dan diharapkan jangan cepat berlalu. Day 4 back to office, semuanya lancar dan sangat menyenangkan. Ah ya, buat yang belum tahu saya balik ngantor lagi, saya ceritain dikit ya. Setelah hampir dua tahun ngebebasin diri dari urusan kantor, akhirnya per awal Mei lalu saya duduk di jajaran karyawan @klnetworkid lagi. Bedanya, kalau dulu saya bergelut dengan @kapanlagicom dan gosip-gosip artisnya, kali ini saya harus larut dalam problematika cinta, ASI, ibu hamil, hingga soal fantasi seksual di @vemaledotcom sini. Well, kalo kamu termasuk buibu muda yang haus pengetahuan seputar wanita dan circumstances-nya, silakan lho follow @vemaledotcom segera. Editornya cantik-cantik dan smart. Semua siap kasih konten terbaik buat buibu sekalian. Ugh! Kapan-kapan kita ajak deh buibu ikutan #NgetehCantikBarengVemale sambil rumpik-rumpik bermanfaat. Ikutin aja terus update kami yah. #vemale #vemaledotcom #ngetehcantikbarengvemale #2017bananabahagia
A post shared by Dewi Ratna (@dewinthemorning) on


Di bulan yang sama, saya terbang ke Balikpapan untuk menemani Rangga di hari khitan. Berkesempatan menyediakan makan dan menyuapinya, membuatkan milo hangat kesukaannya setiap malam, memeluknya dalam tidur, membantunya membersihkan luka bekas khitan karena dia hanya bisa percaya pada saya. Sungguh lebih membuncah dari apa yang saya bayangkan. Saya pernah menjadi 'benar-benar ibu' untuknya, dan hampir seminggu itu saya mengulangnya lagi, dan ingin selalu begitu suatu saat nanti.

Juni berjalan lancar, dan Juli sungguh mengejutkan. Tanggal 2, Mas Gigih berulang tahun. Tak ada yang saya siapkan untuknya, apalagi kejutan tengah malam. Dia yang justru bikin saya sesak napas, ketika pagi itu saya mampir ke rumahnya sebelum pergi main bareng teman-teman. Masih dalam keadaan setengah menutup mata, tiba-tiba dia bilang kalau mamanya bakal datang ke rumah tanggal 25. Awalnya, saya tak ada pikiran selain akan ada tahlilan lagi untuk mbah kakungnya yang meninggal di akhir 2016 lalu.

Hari yang dijanjikan tiba. Dia benar-benar datang ke rumah bersama mama dan bapak. Mereka mempertanyakan hubungan kami, dan apakah saya sudah benar-benar memilih Mas Gigih sebagai teman hidup. Tanpa ragu, saya tentu saja mengangguk mengiyakan. Mereka lalu menyampaikan keinginan untuk melamar saya, pada mbah uti, papa, dan mama saya. Semua pun setuju, dan kami langsung menentukan tanggalnya. Sungguh seperti mimpi. Rasanya ingin menangis waktu itu, tapi malu. Jelas, saya sangat bahagia.


Agustus lumayan sibuk. Kami mempersiapkan semuanya sendiri, dibantu teman-teman terdekat yang dengan sukarela meluangkan waktu, tenaga, dan bahkan materi untuk mewujudkan hari bahagia saya dan Mas Gigih. Beberapa kali rencana sempat berubah, dan pada akhirnya kami harus merayakan hari itu dengan benar-benar mengadakan pesta meski kecil-kecilan. Agustus didedikasikan untuk bikin list menu makanan, sewa tenda dan perlengkapan, bikin konsep, berburu seserahan, dan ini itu lainnya.

Bulan itu pun tiba. September, tepat tanggal 2, dia membaca ijab qabul dengan lancar. Air mata di sana sini, saya yang deg-degan sampai tangan dingin, dan orang-orang tersayang di sekeliling kami. Sungguh, begini rasanya bahagia itu. Dan saya pun sah diperistri Mas Gigih, seperti yang jadi mimpi di awal tahun. Menahan air mata ternyata sungguh sulit di hari itu. Untuk momen ini, saya mau mengucapkan terima kasih sekali lagi buat keluarga kedai dan teman-teman terbaik yang tak pernah beranjak dari sisi saya kala itu.


Tepat setahun setelah dia memutuskan untuk menjadi kekasih saya, lalu tanpa banyak bicara dan drama (tiba-tiba) dia mempersunting saya. Keduanya di bulan yang sama. September. Bulan saya. Kado-kado terbaik di hari ulang tahun saya. 2016 dipacari, 2017 dinikahi. Luar biasa! Dan mungkin sampai di sini kamu sudah mulai bosan membaca cerita saya yang memang hanya akan berisi kabar gembira, tawa dan sukacita. Tunggu dulu, masih ada tiga bulan lagi untuk diceritakan.

Oktober berjalan baik-baik saja. November semakin lancar dan menyenangkan. Keduanya berkaitan dengan kehidupan kantor yang makin tertata dan been better day by day. Pageview konten yang meningkat, pencapaian peserta lomba menulis yang hampir selalu tiga kali lipat lebih besar dari target, dan teman-teman yang semakin kompak. Sampai pada akhirnya kami berhasil bikin gathering Vemalist di bulan Desember, setelah dua tahun vakum. And i wanna give super big thanks to Winda Carmelita for make it happened.


Begitulah, tahun 2017 ini pun ditutup dengan penuh suka. Seperti di tahun sebelumnya, jika hari ini saya ditanya, apa yang saya inginkan di tahun 2018, dengan tanpa ragu saya akan jawab: punya anak lagi dan didekatkan dengan Rangga. Semoga semesta bersinergi untuk mewujudkan dan mendukung keberlangsungan segala mimpi dan harapan. Happy new year all!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny