Langsung ke konten utama

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil.

Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak.

Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar.

Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki dari lubang-lubang lain. Ya, benar. Saya lalu mulai berpasrah setelah mendengar kalimat-kalimat penyemangat dari beliau, orang yang paling intens cari tahu kabar saya, sepanjang saya dirawat di rumah sakit.

Malam itu, setelah dua hari bergelut dengan bau obat dan kamar yang sepi, mas suami langsung pergi menyampaikan kabar resign ke Mbak Rita, atasan terbaik sepanjang perjalanan karir saya mulai 2011 di KapanLagi Group, yang lalu jadi KapanLagi Network, dan kini jadi KapanLagi Youniverse. Saya di rumah, berbaring berurai air mata, setengah hati masih tak rela.

Sementara dada ini masih dipenuhi rasa kecewa, takut bakalan bosan di rumah, sedih karena pasti bakal rindu teman-teman dan pekerjaan sehari-hari di kantor... Sambil saya mengobrol dengan si jabang bayi di dalam perut, yang kemungkinan bertahannya masih 50% ini. Saya ajak dia untuk terus semangat bersama, hingga hari itu tiba. Semoga kami bisa bertemu tahun depan.

Bagaimanapun juga, hidup itu berisi pilihan-pilihan. Saya hanya bisa berusaha untuk tetap tenang, dan terus menjalani apa yang sudah dipilih, dan harus memahami serta bersiap untuk segala konsekuensinya.

Well, goodbye (again) KLY. Goodbye my wonderful team, Vemale Squad. Ya ampun, sedih banget, tak kuat menahan air mata saat nulis bagian ini... Ya, meski cuma mampir setahun lebih sedikit, tapi saya sudah jatuh cinta pada pekerjaan ini, teman-teman satu team ini, dan segalanya di sini. Teruslah maju, wujudkan #2019VemaleTjuan ya teman-teman!

I love love love you all...

PS: Masih ada waktu sampai akhir bulan ini. Semoga kita masih bisa ketemu di ruang kaca itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny