Langsung ke konten utama

Ramalan Putri Wong Kam Fu?

Tentang Kaltim 2011, di salah satu surat kabar dituliskan bahwa Putri Wong Kam Fu mengatakan:
bencana alam kemungkinan sangat kecil sekali di Kaltim, namun jika kita serakah, rakus, dan jauh dari Tuhan, maka tidak ada yang tidak mungkin.

Ya.. ya.. ya.. serakah, rakus dan jauh dari Tuhan. Tapi yang paling penting dari itu semua adalah kesadaran diri masing-masing. Dengan menjadi orang di jajaran atas, jangan lantas jadi jumawa. Jangan mentang-mentang bisa melakukan apa saja dengan uangnya, mereka jadi seenaknya sendiri, tanpa peduli bahwa di sekitarnya masih banyak orang lain yang butuh kelebihan uang mereka untuk hal-hal yang lebih penting.

Daripada berlomba-lomba membabat hutan demi menambang mineral bumi, mendirikan perumahan mewah, pusat perbelanjaan besar, ruko-ruko, dan bangunan-bangunan nggak penting lainnya, lebih baik nikmati saja uang itu dengan cara berbagi. Saudara-saudara korban gempa, tsunami, lumpur Lapindo, masih banyak yang membutuhkan uluran tangan kita. Mereka butuh tempat tinggal yang layak yang bisa dibangun hanya dengan, mungkin, seperempat bagian saja dari modal real estate. Dengan dialihkannya dana pembangunan real estate untuk membantu mereka, maka nggak akan ada lagi hutan yang harus dikorbankan. Dan pada akhirnya, alam akan tetap terjaga kelestariannya, sehingga kemungkinan terjadinya bencana alam akan semakin kecil.

Ya.. semoga saja orang-orang besar itu pada akhirnya nggak cuman mendekatkan diri pada Tuhan saja, tapi juga sadar diri dan berhenti mengeksploitasi alam untuk kepentingan senang-senang mereka. Karena bencana alam bukan berawal dari jauhnya kita dari Tuhan, tapi dari lajunya kita merusak alam, yang menyebabkan ekosistem jadi nggak seimbang dan perlahan-lahan hancur. Batu sekeras apapun, pasti terkikis oleh intensitas air menerpanya. Alam seindah apapun, pasti akan musnah oleh intensitas kita merusaknya. Oke, Bapak-bapak? ^.^v

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny