Langsung ke konten utama

Surat Buat Koko

Dear Koko...

Entah kenapa, hari ini aku jadi inget kamu. Sudah lama banget kita nggak pernah ketemu ya... uhm.. 12 tahun loh! Hari ini aku lagi ngobrol sama temenku soal film yang baru kutonton, Phoebe in Wonderland. Kayaknya sih itu awalnya aku jadi inget kamu. Aku inget pertemuan kita setiap siang sepulang aku dari sekolah. Di gerbang lapis ke-dua rumah 'istana'-ku itu. Kamu selalu nunggu aku di sana, nunggu sambil duduk di pinggir taman samping, di dekat pohon melati mbah uti.

Setelah ganti baju, cuci kaki, cuci tangan, dan makan, aku pasti langsung datangin kamu di sana. Dan kamu pasti langsung tersenyum manis banget. Lalu kita bercerita tentang pengalamanku hari itu di sekolah. Kamu selalu dengerin aku baik-baik. Kamu nggak pernah kecewain aku. Aku selalu suka cerita sama kamu.

Nggak jarang juga aku nanya nomer SDSB yang bakal keluar hari itu ke kamu. Ini karena request dari Oma-oma genit teman mbah uti. Oma Itje dan Oma Kotje namanya. Mereka pedagang berlian dan perhiasan-perhiasan langganan mbah uti. Mereka suka sekali judi dan main SDSB. Sama halnya seperti engkong, beliau juga suka suruh aku nanya itu ke kamu. "Non, tanyakan nomer yang keluar sama Koko," kata engkong sambil nyodorin cokelat Full Cream atau sekaleng permen Pee Wee kesukaanku.

Aku paling benci bagian nanya nomer SDSB. Bagiku itu jadi ganggu kesenangan kita. Ya kan, Ko? Kesenangan kita hanya satu: bercerita. Kita nggak pernah main masak-masakan ataupun pistol-pistolan, seperti yang sering aku mainkan bareng sepupu-sepupuku. Kita hanya bercerita. Bercerita dari jam pulang sekolah sampai jam tidur siangku.

Kamu mungkin masih ingat ceritaku tentang betapa bosannya aku melakukan kegiatan sehari-hari yang monoton seperti yang lutulis di karton, kuhias dengan gambar-gambar, dan kutempel di tembok dekat meja belajarku. Di sana tertulis apa-apa aja yang harus aku lakuin dari jam 6 pagi sampe jam 9 malem, lengkap dengan durasi waktunya. Tapi di sana nggak ada jadwal "ketemu Koko" dari jam 1 sampai jam 2 siang. Kalo yang itu sih nggak perlu aku tulis, aku pasti selalu datangin kamu.

Trus... uhm... cerita tentang betapa sebenernya aku pengen hidup bareng mama dan papa, bahwa sebenernya aku nggak suka hidup di 'istana' itu bareng mabh uti dan mbah kakung. Juga cerita tentang bahwa sebenernya aku bohong waktu aku bilang nggak sedih sama semua orang saat perceraian mama dan papa. Cuma kamu yang tau kalo aku bener-bener sedih waktu itu. Dan waktu itu juga kita berpisah kan, Ko? Aku bener-bener sedih waktu aku harus pindah ke rumah Mama dan Papa Ani. Aku seneng sih bisa ngumpul bareng orangtua baptisku, juga sama kakak-kakak yang sayang sama aku. Tapi aku sedih karena itu berarti aku nggak bisa lagi ketemuan sama kamu.

Sampai aku lulus SMP, dan aku kembali ke 'istana' itu. Kamu masih ada di sana, Ko.. Kamu setia banet nungguin aku di samping pohon melati itu. Aku seneng banget. Aku pengen peluk kamu erat-erat, tapi kenapa nggak bisa? Dan akhirnya aku nyadar kalo kamu itu nggak nyata. Aku nyadar kalo kamu cuma teman khayalanku. Tapi senyummu yang manis itu masih kulihat dengan jelas di depanku. Kita masih berdiri berhadapan seperti yang setiap hari kita lakukan selama 10 tahun.

Perekonomian di rumah nggak stabil waktu mbah kakung meninggal dan aku mulai masuk SMA. Kami terpaksa harus ninggalin 'istana' itu. Yang berarti: ninggalin kamu, ninggalin Molly (anjing kesayanganku dan engkong), dan ninggalin semua kenangan yang pernah terukir di sana. Sejak itu kita nggak pernah ketemu ya, Ko. Dan sekarang ini aku kangen banget sama kamu. Cuma sama kamu aku bisa numpahin semua isi pikiranku, tanpa tersisa. Cuma kamu yang bisa aku percaya. Dan sekarang, aku nggak punya temen yang kayak kamu, Ko. Sampai otakku ini rasanya penuh, tumpah-tumpah isinya.

Koko... aku kangen kamu... :(

Salam sayang,
Nana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny