Langsung ke konten utama

Merry Labour Day


Rise and shine… Don’t go to work today
Teachers and strippers alike… Realize we’re one and the same
Cause it’s Mayday… 1st of May
Gonna March the Streets today
Yes it’s Mayday… 1st of May
Merry merry labour day
Hear us go oi oi oi oi oi oi oi oi labours of the world unite
Mayday - Tika
Malam menjelang mayday, setahun yang lalu, saya masih ikut dalam kesibukan persiapan maching band ala InstitutA. Kami mencetak poster-poster secara gotong royong. Ada yang bagian numpahin pasta ke screen, ada yang narik rakel, ada yang ngambil gambar yang udah tercetak, dan ada yang naruh kertas kosong lagi di bawah screen, begitu seterusnya. Begitu juga dengan bendera. Kami membuat beberapa bendera dengan bahan kain bekas spanduk. Beramai-ramai kami mengecatnya sehingga menjadi berwarna hitam, lalu mereka yang bisa gambar, membuat gambar di atasnya. Sungguh momen yang nggak bisa saya lupakan, bisa berkumpul bersama kawan-kawan yang menyenangkan seperti mereka.

Tahun ini, meskipun mayday jatuh pada hari Minggu, tapi saya masih harus bekerja. Mayday, atau yang lebih dikenal dengan Hari Buruh, yaitu hari libur (di beberapa negara) tahunan yang berawal dari usaha gerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh. Libur? Saya bahkan nggak kenal apa itu LIBUR. Pekerjaan saya adalah pekerjaan yang nggak ada berhentinya setiap hari. Surat kabar harian nggak mungkin nggak terbit setiap hari Minggu atau tanggal merah lainnya. Jujur, saya capek sama pekerjaan yang menghabiskan waktu sore dan malam saya sehari-hari ini. Saya tidur menjelang pagi, bangun di siang hari, dan begitu seterusnya.

Saya memang capek, tapi saya bukan terpaksa harus bekerja seperti ini. Semua ini semata-mata pilihan saya. Seperti yang pernah kami, The HaramJadah, obrolin beberapa bulan lalu, saat saya sedang beruntung mendapat libur sehari. Ini pilihan, kembali pada masing-masing orangnya. Bagaimanapun, nggak bekerja juga nggak bakal membuat kalian mati, saya yakin itu. Kenapa saya memilih untuk bekerja di sini sekarang? Sesuai kemampuan saya, dan hobi bergelut dengan grafis desain.

Whatfuckingever, nikmatilah pekerjaan kalian seperti kalian menikmati hidup. Kalau pekerjaan kalian itu menyiksa, maka tinggalkanlah. ;)

Merry merry labour day...

Komentar

YHOSIE mengatakan…
selamat menempuh tantangan ngeblog!!
semoga selamat sampai tujuan di hari ke 31 :D

blogger ngalam

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny