Langsung ke konten utama

Rumah Pinggir Rel

Saya baru sadar kalau kayu penyangga rel kereta di depan rumah ini sudah diganti jadi beton. Waktu kecil saya suka sekali bermain di sini, lari-larian, melompat dari satu kayu ke kayu berikutnya. Secara saya jarang diijinkan main di luar rumah, saya jadi menggila bila sudah berada di sini.

Rumah pinggir rel ini milik pakdhe, kakak papa saya. Dari dulu rumah ini sudah damai adanya. Apalagi waktu budhe masih hidup, beliau jago masak dan bikin kue. Saya sangat saying sama budhe. Apapun masalah yang saya hadapi, selalu hilang begitu memasuki pintu rumah ini. Canda tawa pakdhe, budhe, dan dua sepupu saya, selalu bias menghapus sedih duka.

Saya pandangi rel kereta itu. Terlintas bayangan kami – saya dan sepupu-sepupu saya- yang masih kecil berlarian kegirangan main layangan. Mata saya menyapu pemandangan sekeliling. Rumah-rumah tetangga, pepohonan, dan langit yang sedang biru. Ada yang hilang. Ya, pohon jambu yang bias dipanjat sepupu saya saat jambu sudah masak itu sudah nggak ada. Yang tersisa tinggal pohon mangga dan belimbing yang saat ini belum berbuah.

Kampung Setia Budi Utara ini jadi rapi. Sangat rapi. Tetangga kanan kiri kebanyakan masih tetap yang dulu. Kami pun saling sapa, sekedar basa-basi menanyakan kabar. Keramahan lingkungan ini masih seperti dulu. Hanya saja, rumah ini agak terasa sepi tanpa candaan dari budhe yang selalu bias membuat saya tertawa lepas.

Huft… Apapun, bagaimanapun, sekarang ini saya masih berhasil melupakan penat berkat rumah ini. Rumah damai. Rumah pinggir rel.




Malang | rumah pinggir rel | 08:30

Komentar

Dewi mengatakan…
Home is not where you live, but where they understand you. :)
*bukunya udah aku kirim ;)

Postingan populer dari blog ini

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da...

Welcome 2018, I'm Ready To Rock and Roll

Benar adanya, orang kalau lagi bahagia itu lebih susah menuangkannya dalam bentuk apapun, termasuk rangkaian kata. Setelah diberi 2016 penuh tawa dari gunung ke lautan bareng teman-teman yang menyenangkan, 2017 ini masih juga diliputi gembira meski jarang beranjak dari tempat duduk, di rumah maupun di kantor. 2017 spektakuler! Sama spektakulernya seperti 2016. Thank God, semua luka di tahun-tahun sebelumnya sudah mengering, dan sembuh walau bekasnya tak akan pernah bisa hilang. Tuhan begitu baik, menggantikan segala kecewa dengan begitu banyak berkah yang tiada henti-hentinya. Setelah di tahun 2016 dipertemukan dengan dia, dikenalkan lebih dekat, diuji ketahanan dan kesabaran, 2017 ini kami dipersatukan. Sujud syukur, karena menikah dengan Mas Gigih adalah salah satu keinginan yang saya tulis di awal tahun kemarin . Tanpa ekspektasi, hanya menyerahkan semua pada-Nya. Hanya mempercayakan segala mimpi-mimpi yang saya usahakan akan aman dan terkendali di tangan-Nya. Bicara soal 2...

365 Hari Bersama Superteam Knightwriters

Rasanya seperti baru kemarin saya duduk di hadapan Mbak Rita dengan setelan baju kantor yang super formal. Rasanya seperti baru kemarin juga Mbak Rita telepon malam-malam dan meminta saya masuk kerja keesokan harinya. Hari ini, setahun sudah saya menginjakkan kaki untuk yang pertama kalinya di kantor KLC. Hari ini, setahun sudah saya menghidupi dan menghidupkan hidup di sini. Sebagian besar waktu dan pikiran saya adalah KLC. Syukur yang tak berkesudahan, masih sama seperti syukur yang sempat saya torehkan di dinding kamar saya, setahun yang lalu. "Terima kasih Tuhan, saya bekerja di KLC!" Pada kesempatan ini, rasa terima kasih saya yang tak terhingga, pertama saya tujukan pada Fajar McXoem dan Mbak Aik Nengbiker. Kalau bukan karena mereka berdua, mungkin saya tidak duduk di kursi ruang editor yang sangat nyaman itu. Kemudian baru pada Mbak Rita yang sudah memutuskan untuk menerima saya dalam tim-nya. Senang rasanya punya tim yang sangat solid dan selalu berusaha bekerja denga...