Langsung ke konten utama

Maut Saya Bukan Oleh Kereta Api




picture taken from: www.matanews.com
Hari ini, nggak seperti karyawan lain, saya nggak libur. Kebetulan memang saya lagi dapat giliran piket, yang berarti masuk pagi jam delapan dan pulang sore jam empat. Tapi karena, as always, saya harus mengerjakan MNS yang cukup menyita waktu, jadi saya terpaksa pulang jam 16.30. Beruntung Mas Dar dan Mas Fathur membantu saya dalam pengerjaan materi MNS, kalau enggak, bisa-bisa saya pulang jam enam sore. :D

Sepulang kerja, di sore yang cukup cerah, saya berjalan kaki menuju ke depan gerbang perumahan untuk mencari angkot. Nggak seperti biasanya, kali ini saya memilih lurus saja, tidak berbelok ke kiri dan melewati pohon-pohon rindang di sana. Saya ingin cepat-cepat naik angkot dan segera sampai di warung mama. Sudah terbayang yummy-nya bakso dan segarnya es jeruk di sana.


Sampai di warung mama, ternyata hanya ada Mbak Yul, orang yang biasa membantu dan menemani mama di sana. Dia bilang, sudah dua hari mama nggak turun ke warung. Sakit, katanya. Segera setelah saya menghabiskan bakso dan es jeruk, langsung saya meluncur ke rumah mama. Kebetulan suami mama datang untuk cek keadaan warung, sekalian saja saya minta diantar ke rumah mama.

Mama sedang masak, menyiapkan menu buka puasa untuk adik-adik saya, Dharma Yudha dan Dinar Aprilia. Ada mi goreng, telur mata sapi, dan kari ayam di dapur. Teh hangat pun sudah disiapkan di atas nampan. Saya sungguh iri, secara sejak kecil saya dan adik saya, Diana Agnes, tidak pernah mendapat perlakuan yang manis seperti itu. Tapi saya tau, mama juga ingin seperti itu pada saya dan Diana Agnes.

Setelah sejenak menemani adik-adik saya berbuka puasa, sambil ngobrol-ngobrol ringan dengan mereka dan juga mama, saya pamit mundur. Saya harus meluncur ke Raya Dieng Net untuk bertemu dengan kawan-kawan lama, kawan-kawan The Lamerz yang dulu sempat menjadi mama-mama dan papa-papa bagi jagoan saya, Rangga Rebellio Desrandi.

Harus menyeberang rel kereta api jika saya ingin keluar lewat lorong yang merupakan jalan pintas menuju jalan besar. Mama mengantar saya sampai pinggir rel, mengingatkan saya untuk hati-hati, dan melihat kanan-kiri. Entah kenapa, tiba-tiba ingatan saya kembali ke masa itu. Masa dua puluh tahun yang lalu. Waktu itu saya masih tujuh tahun, masih baru kelas dua Sekolah Dasar.

Setiap liburan sekolah, saya selalu berkunjung ke tempat mama dan papa -waktu itu mereka masih suami-istri- di Surabaya. Mereka sering sekali mengajak saya jalan-jalan, belanja, bersenang-senang, atau sekedar berkunjung ke rumah saudara-saudara di Surabaya. Mama dan papa selalu menggandeng tangan saya, yang kanan dan yang kiri. Mereka nggak pernah melepasnya, kecuali kalau saya digendong papa.

Suatu ketika, kami berkunjung ke rumah saudara, yang saya lupa nama daerah tempat tinggalnya. Yang pasti di dekat rumahnya ada rel kereta api membentang. Entah kenapa, nggak seperti biasanya, mama dan papa lengah. Saya berhasil lolos dari eratnya pegangan tangan mereka. Saya, yang waktu itu masih kecil dan selalu ingin tau ini-itu, lepas dan lari sendiri menuju rel kereta itu.

Mama dan papa segera sadar kalau saya menghilang dari gengaman mereka. Saya sudah berdiri di tengah rel kereta api sambil loncat-loncat kegirangan, berteriak-teriak kearah mama dan papa yang wajahnya panik bukan main. Saya ingat betul, ketika saya menengok ke arah kanan, kereta api dengan suara mesin yang meraung-raung, dan klakson yang memekakkan telinga, sudah berada 100 meter di dekat saya.

Saya lihat wajah mama semakin panik, air mata mengalir deras di pipinya. Sementara papa yang juga nggak kalah panik, langsung berlari ke arah saya. Seperti kilat, tangan papa menyambar tubuh saya yang sangat mungil meski sudah berusia tujuh tahun itu. Dengan saya di dalam dekapannya, papa melompat dari rel kereta api dalam hitungan detik setelah berhasil meraih saya.

Setelah papa berdiri tenang, dengan saya masih dalam dekapannya, papa memandang saya dengan tatapan yang nggak bisa saya gambarkan. Mungkin perasaan beliau campur aduk kala itu. Sementara saya hanya tersenyum manis tanpa dosa. Mama nggak nampak sampai rangkaian kereta api, yang hampir saja merenggut nyawa saya itu berlalu.

Bergegas mama menyeberang rel kereta. Mama menangis sejadi-jadinya sambil memeluk dan menciumi saya. Itu mama saya, mama yang sama sekali nggak pernah tinggal serumah dengan saya sejak saya lahir sampai dua puluh tujuh tahun. Jikapun saya tinggal bersamanya, paling hanya dalam hitungan bulan, minggu, atau hari saja. Ya, beliau menangis, pasti terharu, saat menyadari bahwa saya selamat dari maut sore itu.

"Awas, Kak!" seru mama.
"Iya maaaa...," jawab saya.
"Bahaya rel kereta api itu, Kak," ujarnya kemudian.
"Mama inget waktu aku kecil ya?" tanya saya dari seberang rel.
Mama lantas tersenyum manis, melambaikan tangan, dan berpesan, "Hati-hati di jalan, Kak."
Saya mengangguk mantap.


Raya Dieng Net - Malang
17 Agustus 2011 | 20:09

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny