picture taken from: www.matanews.com |
Sepulang kerja, di sore yang cukup cerah, saya berjalan kaki menuju ke depan gerbang perumahan untuk mencari angkot. Nggak seperti biasanya, kali ini saya memilih lurus saja, tidak berbelok ke kiri dan melewati pohon-pohon rindang di sana. Saya ingin cepat-cepat naik angkot dan segera sampai di warung mama. Sudah terbayang yummy-nya bakso dan segarnya es jeruk di sana.
Sampai di warung mama, ternyata hanya ada Mbak Yul, orang yang biasa membantu dan menemani mama di sana. Dia bilang, sudah dua hari mama nggak turun ke warung. Sakit, katanya. Segera setelah saya menghabiskan bakso dan es jeruk, langsung saya meluncur ke rumah mama. Kebetulan suami mama datang untuk cek keadaan warung, sekalian saja saya minta diantar ke rumah mama.
Mama sedang masak, menyiapkan menu buka puasa untuk adik-adik saya, Dharma Yudha dan Dinar Aprilia. Ada mi goreng, telur mata sapi, dan kari ayam di dapur. Teh hangat pun sudah disiapkan di atas nampan. Saya sungguh iri, secara sejak kecil saya dan adik saya, Diana Agnes, tidak pernah mendapat perlakuan yang manis seperti itu. Tapi saya tau, mama juga ingin seperti itu pada saya dan Diana Agnes.
Setelah sejenak menemani adik-adik saya berbuka puasa, sambil ngobrol-ngobrol ringan dengan mereka dan juga mama, saya pamit mundur. Saya harus meluncur ke Raya Dieng Net untuk bertemu dengan kawan-kawan lama, kawan-kawan The Lamerz yang dulu sempat menjadi mama-mama dan papa-papa bagi jagoan saya, Rangga Rebellio Desrandi.
Harus menyeberang rel kereta api jika saya ingin keluar lewat lorong yang merupakan jalan pintas menuju jalan besar. Mama mengantar saya sampai pinggir rel, mengingatkan saya untuk hati-hati, dan melihat kanan-kiri. Entah kenapa, tiba-tiba ingatan saya kembali ke masa itu. Masa dua puluh tahun yang lalu. Waktu itu saya masih tujuh tahun, masih baru kelas dua Sekolah Dasar.
Setiap liburan sekolah, saya selalu berkunjung ke tempat mama dan papa -waktu itu mereka masih suami-istri- di Surabaya. Mereka sering sekali mengajak saya jalan-jalan, belanja, bersenang-senang, atau sekedar berkunjung ke rumah saudara-saudara di Surabaya. Mama dan papa selalu menggandeng tangan saya, yang kanan dan yang kiri. Mereka nggak pernah melepasnya, kecuali kalau saya digendong papa.
Suatu ketika, kami berkunjung ke rumah saudara, yang saya lupa nama daerah tempat tinggalnya. Yang pasti di dekat rumahnya ada rel kereta api membentang. Entah kenapa, nggak seperti biasanya, mama dan papa lengah. Saya berhasil lolos dari eratnya pegangan tangan mereka. Saya, yang waktu itu masih kecil dan selalu ingin tau ini-itu, lepas dan lari sendiri menuju rel kereta itu.
Mama dan papa segera sadar kalau saya menghilang dari gengaman mereka. Saya sudah berdiri di tengah rel kereta api sambil loncat-loncat kegirangan, berteriak-teriak kearah mama dan papa yang wajahnya panik bukan main. Saya ingat betul, ketika saya menengok ke arah kanan, kereta api dengan suara mesin yang meraung-raung, dan klakson yang memekakkan telinga, sudah berada 100 meter di dekat saya.
Saya lihat wajah mama semakin panik, air mata mengalir deras di pipinya. Sementara papa yang juga nggak kalah panik, langsung berlari ke arah saya. Seperti kilat, tangan papa menyambar tubuh saya yang sangat mungil meski sudah berusia tujuh tahun itu. Dengan saya di dalam dekapannya, papa melompat dari rel kereta api dalam hitungan detik setelah berhasil meraih saya.
Setelah papa berdiri tenang, dengan saya masih dalam dekapannya, papa memandang saya dengan tatapan yang nggak bisa saya gambarkan. Mungkin perasaan beliau campur aduk kala itu. Sementara saya hanya tersenyum manis tanpa dosa. Mama nggak nampak sampai rangkaian kereta api, yang hampir saja merenggut nyawa saya itu berlalu.
Bergegas mama menyeberang rel kereta. Mama menangis sejadi-jadinya sambil memeluk dan menciumi saya. Itu mama saya, mama yang sama sekali nggak pernah tinggal serumah dengan saya sejak saya lahir sampai dua puluh tujuh tahun. Jikapun saya tinggal bersamanya, paling hanya dalam hitungan bulan, minggu, atau hari saja. Ya, beliau menangis, pasti terharu, saat menyadari bahwa saya selamat dari maut sore itu.
"Awas, Kak!" seru mama.
"Iya maaaa...," jawab saya.
"Bahaya rel kereta api itu, Kak," ujarnya kemudian.
"Mama inget waktu aku kecil ya?" tanya saya dari seberang rel.
Mama lantas tersenyum manis, melambaikan tangan, dan berpesan, "Hati-hati di jalan, Kak."
Saya mengangguk mantap.
Raya Dieng Net - Malang
17 Agustus 2011 | 20:09
Komentar