Langsung ke konten utama

Kisah Planet Trigala dan Canava Satibis

Digambar oleh Diedra Cavina, diwarnai oleh saya ^^
Tersebutlah sebuah planet di mana di sana hanya ada enam jam dalam sehari, tiga hari dalam seminggu, tiga minggu dalam sebulan, dan sembilan bulan dalam setahun. Planet tersebut bernama planet Trigala.
Planet yang memiliki tiga danau, sembilan sungai, dan satu laut ini mempunyai tiga musim. Terjadi di sana, tiga bulan musim hujan, tiga bulan musim semi, dan tiga bulan sisanya adalah musim melayang.

Di kala musim hujan, makhluk-makhluk di planet Trigala ini menikmati liburan. Musim ini adalah pusing paling santai dalam hidup mereka, di mana mereka bisa menikmati segala persedian, dan berkumpul bersama keluarga.

Jika tiba musim semi, makhluk Trigala mulai bercocok tanam. Di musim semi ini terkadang ada juga hujan, namun hanya beberapa kali saja dalam sebulan. Musim semi ini digunakan untuk bekerja di kebun.

Dan, pada musim melayang, segala pekerjaan sudah terselesaikan. Hasil dari bercocok tanam sudah siap dipanen. Hasil panen dari kebun mereka adalah Canava Satibis. Di musim melayang, makhluk Trigala biasa menikmati hasil panen sambil minum kopi dan kongkow dengan kerabat.

Planet Trigala tidak mengenal yang namanya agama. Makhluk Trigala tak juga berpendidikan. Mereka sangat primitif dan buta kekuasaan. Mereka memang bodoh, tapi hidup mereka nyaman dan tentram.

Makhluk Trigala mempunyai kendaraan yang biasa membawa mereka ke mana-mana. Kendaraan tersebut berbentuk seperti setengah batok kelapa. Jika ingin dibawa terbang, mereka cukup jemur kendaraan tersebut selama 30 menit.

Kehidupan di planet yang berair laut manis ini sungguh menyenangkan. Selain air lautnya yang manis, ada juga danau yang rasa airnya segar seperti rasa air kelapa. Hanya sungai di sana yang berair tawar.

Sifat makhluk di planet ini yang terutama adalah iseng. Dari iseng itu, timbullah saling marah satu sama lain. Biasanya, mereka berkelahi jika ada masalah, namun setelahnya mereka jadi lega dan langsung berdamai, serta tertawa bersama lagi.

Pada bulan ke-enam, makhluk Trigala punya tradisi berkumpul, semacam kumpul hari raya di planet Bumi. Mereka bertemu keluarga besar, karena semua yang ada di planet tersebut adalah saudara.

Di planet Trigala, semuanya harmonis. Makhluk-makhluknya tidak punya beban dan tidak juga berpikir soal uang. Mereka hanya tahu bersantai, memancing di danau, walaupun di dalam danau itu tidak terdapat ikan. #lho

Para leluhur makhluk Trigala telah berpesan, agar turun-temurun, mereka menjaga siklus pertumbuhan Canava Satibis. Karena, hasil kebun mereka itulah kunci dari keharmonisan makhluk Trigala selama berabad-abad ini.

Selera musik makhluk Trigala juga tak pernah berubah dari zaman ke zaman. Mereka suka mendengarkan musik alam, seperti suara hujan, suara aliran sungai, serta suara pohon yang tertiup angin. Mereka juga harmonis dengan alam.

Tidak ada pemerintahan dan birokrasi di planet Trigala. Makhluk-makhluk di sana saling pengertian satu sama lain. Aneh memang, tapi demikianlah yang terjadi di planet penghasil Canava Satibis ini.



Terinspirasi dari twit Oneding
Kala sedang bingung, tak tahu kenapa, dan tak tahu harus apa.

Komentar

berdiribersama mengatakan…
Hati-hati invasi dari planet bumi. Bisa-bisa ntar nasib Canava Satibis jadi kayak semacam freeport Hahahaha
Dewi Ratna mengatakan…
Kata Oneding: "Sulit menemukan Trigala.. Hahaha. Hanya orang yang santai menghadapi kenyataan yang bisa menemukannya ;)"

Jadi, akan sulit bagi makhluk planet Bumi yang serakah itu untuk menemukan Trigala. Mereka terlalu bernafsu dalam menghadapi kenyataan.
Anonymous mengatakan…
biasa...
Dewi Ratna mengatakan…
Ya iya laaaah... Memang bukan dibikin luar biasa kok... :)
Lila aka djombie mengatakan…
so peacefull in trigala

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny