Langsung ke konten utama

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil.

Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasnya, sore hingga malam mengaduk pasta quaret dan dengan lihai menarik rakel.

Tak ada kesempatan untuk galau dan merasakan deretan masalah di circa yang biasa disebut quarter life crisis itu. Yang saya pikirkan kala itu hanya bagaimana caranya supaya besok ada orderan lagi, yang bayarannya dipakai untuk beli beras, gula, dan kopi buat sebulan ke depan, juga untuk belanja harian sampai orderan berikutnya. Begitulah, saya ditempa cukup keras sejak masuk kepala dua, hingga akhirnya bisa sedikit selonjor di awal kepala tiga, yang justru jadi momen di mana saya mengalami life crisis dengan segala kegalauan yang cukup mengganggu tidur malam.

Saya mulai bekerja di perusahaan besar, dengan gaji setara UMK, saat usia saya 27 tahun. Tahu kalau pemasukan bulanan cukup aman, keinginan untuk jajan ini dan itu pun meluap. Setelah menyisihkan sebagiannya untuk keperluan bulanan, sisa gaji saya pupus di meja-meja kasir cafe dan butik baju second. Di tahun kedua bekerja, saya memberanikan diri mengambil kredit motor. Motor yang saya impikan sejak tahun 2009, baru bisa saya wujudkan membelinya di tahun 2013. Senang, tentu saja saya sangat senang. Bangga, tentu saja saya bangga pada diri saya sendiri.

Berhenti di situ, setelah dua tahun habis cicilan, saya mulai foya-foya lagi. Sisa gaji kembali pupus di meja-meja kasir dan kali ini juga di rekening para pemilik online shop. Bahkan setelah resign dari pekerjaan sebelumnya, dan pindah di tempat baru yang gajinya tiga kali lipat lebih banyak, tetap saja semua itu pupus. Nafsu jajan justru semakin menggila dengan banyaknya uang yang saya terima setiap bulannya. Jangan tanyakan tabungan, karena saya sama sekali tak punya uang mengendap di bank atau harta lainnya, kecuali BPKB motor. Dan memasuki usia 30, mulai muncul sesal-sesal itu.

"Ngapain aja kamu selama usia-usia super produktifmu? Mana hasil dari kerja kerasmu mencari uang selama lebih dari 10 tahun kemarin?" tanya saya pada diri sendiri.

Begitulah, di usia 30 tahun saya hanya punya motor saja. Padahal jika ditarik ke belakang, dihitung lagi jumlah pendapatan, disinkronkan dengan pengeluaran, seharusnya masih sangat possible kalau saya punya kemauan untuk menabung. Kamu-kamu yang belum menginjak usia ini pasti belum bisa membayangkan sesak dan sedihnya menghadapi kenyataan bahwa belum ada rumah yang kamu beli sendiri, atau setidaknya deposito dan tabungan di bank. Tapi kalau nasi sudah menjadi bubur, ya apa mau dikata? Saya hanya bisa percaya bahwa tak ada kata terlambat untuk memulai.

Seharusnya, 2018 ini jadi tahun yang tepat untuk memulai. Secara pribadi, keadaan finansial saya sedang sangat aman, karena kebutuhan bulanan saya kini jadi tanggungan suami. Di usia 33 ini, saya sudah menyimpan beberapa keping emas batangan 1 gram, dan tabungan ala-ala di kaleng bekas jajanan. Harapannya, sisa gaji yang sudah dipotong kebutuhan bulanan, tak lagi pupus di meja-meja kasir ataupun pemilik rekening online shop. Saya harus mulai menata semuanya, dan saya ingin memulainya dengan langkah-langlah ini:

1. Uninstall aplikasi online shop di smartphone.

2. Bikin rekening terpisah untuk mengalokasikan 20% dari gaji bulanan.

3. Dari sisanya, baru set anggaran bulanan.

4. Jika ada sisanya lagi, baru boleh buat jajan.

Tampak sederhana dan mudah menuliskan langkah-langkah di atas. Semoga mengaplikasikannya dalam dunia nyata pun bisa sesederhana dan semudah itu.

Semangat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da