Langsung ke konten utama

Yang Macet Yang Lebih Penting

Car Free Day @ Foto: b2w-indonesia.or.id
Dear semua yang baca...

Ngomong-ngomong soal CFD nih, semua pasti sudah pada tau apa itu CFD. Kepanjangannya Car Free Day, artinya Hari Bebas Mobil... Hehehe.. Bukan ding, bukan terjemahannya, tapi artinya. Hari tanpa asap kendaraan bermotor, begitulah kira-kira yang dimaksud dari acara CFD.

Untuk yang pertama kalinya, kota Malang menggelar CFD. Bukan ikut-ikutan, bukan latah, tapi ini demi mencanangkan program STOP GLOBAL WARMING! Benar begitu Bapak/Ibu panitia CFD? Semoga benar. Acara yang berlangsung pada tanggal 18 Desember 2011 ini, digelar di sekitar Jalan Ijen.


Buat Anda yang orang Malang atau pernah ke Malang, pasti tau lah ya letak Jalan Ijen itu di mana. Secara setiap tahun di sana juga digelar acara Malang Kembali untuk merayakan ulang tahun kota Malang yang jatuh pada bulan April. Ya, Jalan Ijen yang lengang dan banyak ditumbuhi pepohonan di pinggir-pinggirnya itu loh!

Jadi, ada masalah apa dengan Jalan Ijen sehingga dijadikan pusat kegiatan CFD yang notabene diperuntukkan mengurangi polusi udara ini? Apakah macet? Apakah tidak rindang? Apakah ada alasan sehingga CFD digelar di sana? Plis, Bapak/Ibu panitia, katakan pada kami, pada saya.

Kalau memang CFD Malang bertujuan untuk mengurangi polusi udara, demi suksesnya slogan STOP GLOBAL WARMING, kenapa tidak dipilih jalanan yang jelas-jelas selalu macet dan perlu penyegaran? Daerah Blimbing misalnya. Atau Soekarno-Hatta, Dinoyo, dan titik-titik kemacetan kota Malang lainnya.

Plis help! Salah satu koran terbitan hari ini, Rabu (14/12) menyebutkan bahwa jembatan Soekarno-Hatta perlu diwaspadai. Rawan runtuh ya? Bagaimana tidak, jika setiap hari macet dan berpuluh-puluh kendaraan padat merayap, bahkan berhenti di titik itu *tarik nafas panjang*. Jadi bagaimana? Cocok nggak kalau CFD diadakan di jalanan semacam itu?

Seminggu sekali selama beberapa jam, apa nggak ada yang ikhlas untuk menutup jalan-jalan tersebut untuk kendaraan bermotor? Seminggu sekali selama beberapa jam, biarkan jalan-jalan itu juga merasakan udara segar dengan polusi udara yang minim. Seminggu sekali selama beberapa jam saja.

Uhm.. Saya bingung mau  bilang apa lagi. Semoga dengan sedikit curahan hati saya ini, ada orang-orang yang bisa memahami, syukur-syukur kalau ikut mendukung :).

Sekian. Makasih.

Komentar

nothing mengatakan…
car fri de tepatnya jalan veteran. ga ganggu aktipitas orang yang tinggal di jalan ijen :)
nengbiker mengatakan…
mungkin dipilihnya ijen itu karena berdekatan dengan jalan semeru yang dipakai untuk pasar tugu. jadi win-win solution untuk pemerintah juga.

seharusnya memang malang ini harus punya area aktivitas khusus seperti rampal yang terbuka untuk umum dan bisa ditutup kapan pun untuk agenda seperti car free day. tidak merugikan pemilik rumah seperti jalan ijen, tidak bikin macet di luar lingkaran car free day, dan bisa digunakan untuk aneka kegiatan.

car free day itu menurut saya bukan penutupan jalan sepihak seperti di jalan ijen itu.
Dewi Ratna mengatakan…
car free day diselenggarakan untuk mengurangi polusi dari asap kendaraan bermotor.. sebaiknya memang diadakan di tempat yang rawan polusi, yang selalu macet.. bagi yang beraktivitas pada hari tersebut, memang sudah harus antisipasi sendiri dan nggak boleh merasa terganggu... supaya nggak kejebak macet, mereka bisa pilih angkot atau naik sepeda... hehehehe... #enaklekngomongyo *dibalangtankmusium*
didut mengatakan…
nunggu review CFD yg berikut beserta foto2nya :))

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny