Langsung ke konten utama

Sungai Bintang dan Rinduku Padamu

Saya menamakannya sungai bintang. Mereka mengalir perlahan, dan saya nggak mau menyadari bahwa sesungguhnya bumilah yang berputar. Tiap berapa jenak, ada satu bintang yang melesap cepat dan menyisakan sinar panjang, macam ekor Naga Xyloto.

---

Salah seorang kawan yang sedang patah hati, mengonsumsi alprazolam, dan jadi banyak mau. Kami yang sober, kemudian menanggapinya secepat kilat.

"Cangar?" ujarnya.
"Ayo!" sahut tiga yang lain, hampir bebarengan.

Ini adalah 10 tahun sejak terakhir saya menjejakkan kaki di pemandian air panas kenamaan di kota Malang itu. Yang tersisa di memori otak saya tentang Cangar adalah: jalanan rusak, becek dan tak bersahabat di musim hujan, dan tempat wisata yang penuh sesak, lagi kotor.

Jam dua dini hari kami bertolak dari Malang ke arah Batu. Hanya baju rangkap tiga dan sebuah senter pinjaman, jadi modal kami selain nekat. Mampir mini market untuk sebotol bir dan beberapa makanan ringan. Kemudian lanjut naik, naik, dan semakin naik.

Jauh di luar dugaan! Tak ada jalanan berlubang sepanjang kami lewat. Tak ada becek dan riuh pengunjung memang di dini hari itu. Kami berdiri, beku, mati rasa, berusaha mati-matian menyalakan rokok, dan berjalan tertahan ke arah pagar pendek yang menyatakan bahwa pemandian sedang tutup.

Senter pinjaman cukup membantu langkah kami menapaki tangga turunan yang tak beraturan tingginya. Sambil terus mengobrol, kami terus turun, sampai bertemu asap-asap mengepul. Tak ada bau terbakar di sana. Dan udara pun masih dingin, membekukan.

Kami melewati jembatan kecil. Di bawah sana ada semacam sungai kecil, sangat kecil. Dari situlah asap mengepul. Terbayang sudah seberapa panas air di situ. Nampak tenang, bukan seperti air mendidih, tapi asap itu sempat menyiutkan nyali saya untuk ikut berendam.

Di pinggiran kolam, saya masih saja takjub pada apa yang saya perhatikan sedari tadi, sepanjang perjalanan. Taburan bintang! Saya terus-terusan berdecak kagum. Belum mau saya peduli pada air di depan saya.

"Juara! Ini semesta!" saya terus mendongak.

Air itu sangat jernih. Beningnya sampai-sampai kita bisa melihat bebatuan yang ada di dasar kolam. Tapi asap itu...

"Coba dulu rasakan. Masukin tanganmu," ujar salah seorang kawan.

Ragu saya menjulurkan tangan ke kolam. Terkejut. Saya pikir airnya masih jauh, ternyata kolam itu penuh.

Duh Gusti! Apa ini semua? Tangan yang tadinya mati rasa pun mulai terasa nyaman. Tanpa banyak pertimbangan, kami melucuti pakaian berat. Yang tersisa di badan hanya t-shirt dan celana pendek. Mulai dari ujung kaki, saya masuk perlahan, merasakan panasnya, perihnya, dan prosesnya menjadikan tubuh kami tidak lagi kaku.

Semesta ini adalah sahabat! Saya berbaring, mengambang di atas air, menikmati hangatnya, sambil memperhatikan langit.

"Juara!" sekali lagi saya menggumam.

Bintang-bintang mengalir perlahan, beberapa melesap cepat, dan beberapa berpindah dengan kecepatan rendah.

Saya menyebut mereka yang berpindah dengan kecepatan rendah itu UFO, Unidentified Flying Object. Saya tak yakin bahwa mereka termasuk salah satu dari jutaan kerlip bintang itu. Namun saya juga tak yakin, apakah itu pesawat, roket, atau yang lain. Tak teridentifikasi oleh saya.

---

Kamu, satu-satunya orang yang paham betul kecintaanku pada semesta.
Seharusnya kamu ada di sini.
Seharusnya kamu juga berbaring dalam air hangat ini, sambil mengagumi angkasa.
Kita pasti banyak bicara tentang apa itu bintang dan yang berhubungan dengannya.
Kamu juga pasti setuju kalau aku menamai sekumpulan bintang di sebelah kiriku itu dengan nama 'bintang tanda tanya'.
Kamu pasti ikut terhenyak dan menggumam bersamaku saat salah satu dari mereka melesap indah.
Kamu memang seharusnya ada di sini...
---




Dan saya menikmati segala yang disajikan semesta, sampai langit perlahan berubah warna. Hitam jadi kelabu. Kelabu bersemu jingga. Jingga memancar dari sinar matahari di balik bukit itu. Saatnya kembali ke kota, ke hiruk pikuk jalanannya, dan duduk lagi di balik meja kantor.


In the middle of August 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny