Langsung ke konten utama

Perjalanan Misi Melarung Hati

Halo dewa ubur-ubur! Setelah setahun lebih nggak menikmati udara dan bebunyian ini, akhirnya saya berbaring di sini dan mencumbui pasir di pesisir kerajaanmu.






Mei 2011. Pantai Pangandaran menjadi saksi besarnya cinta dua pasang kaki yang menjejak di atas pasirnya yang hitam. Cinta itu diumpamakan lautan di depan sana, luas dan tak berujung.

Setahun setelahnya, sepasang kaki mulai lelah menjejak. Sepasang kaki lain berusaha bertahan, memapah dia yang tak kuat lagi berjalan. Namun gagal. Dua pasang kaki itu harus mengambil arah yang berlawanan.

Dewa ubur-ubur, malam ini saya rebah di sini. Suara ombak itu menggelegar gagah, lalu jadi merdu dipecah karang. Saya tersenyum puas.

Bawa jauh-jauh hati saya ke tengah samudera lepas sana! Hati yang sudah hancur dan tak bisa dirangkai jadi secantik semula. Hati yang menyerah kalah dan mempersilahkan otak untuk memberi komando sepasang kaki ini terus maju. Maju tanpa lagi menoleh ke belakang.

Hati baru yang tumbuh nanti, semoga adalah yang terbaik untuk melanjutkan hidup hingga habis waktu. 

Senja pun pergi :)
Tak ada kata terlalu pagi untuk bahagia!
Dan.. bahagia itu sederhana! Sesederhana ini.. ;)

Di dalam tenda Lafuma - Pantai Kondang Merak, 22-23 September 2012. Happy birthday Morningdew! ;)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny