Langsung ke konten utama

Cinta Tak Terbalas, Peri Cantik Amaryllis Tusuk Panah Emas ke Jantungnya

copyright: facebook
Salah siapa jika Taman Bunga Amaryllis, yang letaknya di Dusun Ngasemayu, Desa Salam, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta itu kini tinggal cerita? Bukan. Bukan karena siapa yang pertama kali mengunggah foto keindahannya di media sosial. Setidaknya, itu menurut saya pribadi.

Kalau kamu ngaku pecinta alam, kamu nggak akan tega melakukan ini. Hanya karena obsesi punya foto keren di antara bunga-bunga ala Eropa, nggak kemudian otak dan hati nggak dipakai kan? Kalau kamu cuma sekedar penikmat alam pun, seharusnya kamu juga nggak akan tega melakukan ini.

Amaryllis sendiri punya cerita legenda yang berbau percintaan. Dia dikisahkan sebagai seorang peri pemalu yang jatuh terperosok dalam cinta kepada seorang gembala. Alteo namanya, ia kuat seperti Hercules dan ganteng seperti Apollo. Namun sayang, cinta sang peri nggak berbalas.

Sang peri sangat berharap bisa mendapatkan cinta Alteo. Ia lalu meminta nasehat pada oracle di Delphi. Seperti sarannya, Amaryllis lalu mengenakan gaun perawan berwarna putih, dan menusuk hatinya dengan panah emas. Ia lalu mengunjungi pondok Alteo setiap hari dan menumpahkan tetesan darahnya di sepanjang jalan yang ia lewati.

Setelah tiga puluh hari, bunga-bunga merah bermekaran di sepanjang jalan itu. Alteo kemudian kagum, jatuh hati, dan akhirnya berusaha menyembuhkan jantung sang peri. Nah, dari legenda itulah, bunga Amaryllis lalu menjadi lambang kebanggaan, keteguhan hati, tekad, dan kecantikan menawan.

Well, saya nggak mau ngobrol panjang lebar dan ikut-ikutan saling menyalahkan atas kejadian menyedihkan di Yogyakarta ini. Entah harus bagaimana, mungkin orang tua dan sekolah harus mendidik anak-anak untuk mulai mencintai alam dan lingkungannya sejak dini. Is it possible? :(

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da...

Welcome 2018, I'm Ready To Rock and Roll

Benar adanya, orang kalau lagi bahagia itu lebih susah menuangkannya dalam bentuk apapun, termasuk rangkaian kata. Setelah diberi 2016 penuh tawa dari gunung ke lautan bareng teman-teman yang menyenangkan, 2017 ini masih juga diliputi gembira meski jarang beranjak dari tempat duduk, di rumah maupun di kantor. 2017 spektakuler! Sama spektakulernya seperti 2016. Thank God, semua luka di tahun-tahun sebelumnya sudah mengering, dan sembuh walau bekasnya tak akan pernah bisa hilang. Tuhan begitu baik, menggantikan segala kecewa dengan begitu banyak berkah yang tiada henti-hentinya. Setelah di tahun 2016 dipertemukan dengan dia, dikenalkan lebih dekat, diuji ketahanan dan kesabaran, 2017 ini kami dipersatukan. Sujud syukur, karena menikah dengan Mas Gigih adalah salah satu keinginan yang saya tulis di awal tahun kemarin . Tanpa ekspektasi, hanya menyerahkan semua pada-Nya. Hanya mempercayakan segala mimpi-mimpi yang saya usahakan akan aman dan terkendali di tangan-Nya. Bicara soal 2...

365 Hari Bersama Superteam Knightwriters

Rasanya seperti baru kemarin saya duduk di hadapan Mbak Rita dengan setelan baju kantor yang super formal. Rasanya seperti baru kemarin juga Mbak Rita telepon malam-malam dan meminta saya masuk kerja keesokan harinya. Hari ini, setahun sudah saya menginjakkan kaki untuk yang pertama kalinya di kantor KLC. Hari ini, setahun sudah saya menghidupi dan menghidupkan hidup di sini. Sebagian besar waktu dan pikiran saya adalah KLC. Syukur yang tak berkesudahan, masih sama seperti syukur yang sempat saya torehkan di dinding kamar saya, setahun yang lalu. "Terima kasih Tuhan, saya bekerja di KLC!" Pada kesempatan ini, rasa terima kasih saya yang tak terhingga, pertama saya tujukan pada Fajar McXoem dan Mbak Aik Nengbiker. Kalau bukan karena mereka berdua, mungkin saya tidak duduk di kursi ruang editor yang sangat nyaman itu. Kemudian baru pada Mbak Rita yang sudah memutuskan untuk menerima saya dalam tim-nya. Senang rasanya punya tim yang sangat solid dan selalu berusaha bekerja denga...