Langsung ke konten utama

Keresahan Hati: Curhat Drama Ala Awkarin

Karin Novilda // Foto: Budi Ismail | myedisi.com
BUKAN UNTUK DIBACA ORANG-ORANG YANG NGGAK PUNYA PIKIRAN TERBUKA NAN LIAR SERTA MASIH SUKA NONTON SINETRON DENGAN NAGA DAN GARUDA TERBANG.

Belajar dari kasus Awkarin, remaja kekinian yang belakangan santer dibahas di berbagai media, setelah video patah hatinya beredar di jagad maya. Bukan untuk menyalahkan pun membela, tapi coba tilik bagaimana media begitu menggebu-gebu ambil untung dari air mata remaja yang mungkin juga masih labil, terutama dalam hal cinta ini.

Ke mana kita saat dia diwawancara, masuk media, sebagai sosok Karin Novilda peraih nilai sempurna ujian nasional matematika? Mungkin benar adanya, segala kebaikan dan kebenaran bakal selalu kalah dari hal-hal negatif yang kita lakukan. Misalnya, posting selfie sekali di antara belasan foto traveling kekinian, bakal bikin kita jadi bulan-bulanan.

Karin yang menangis sesenggukan di video, langsung jadi viral. Yang pada penasaran siapa Awkarin pun langsung cek semua lini media sosial yang dia punya. Channel YouTube dia langsung kebanjiran viewers dan thumbdown karena konten-kontennya yang dianggap tidak mendidik. Ya tentu saja memang konten-konten dia tidak mendidik.

Saya, sebagai seorang ibu, langsung merasa was-was melihat betapa muda-mudi era sekarang ini berkembang cepat dewasa. Tapi balik lagi tengok ke belakang, setiap dekade tentu punya perkembangannya. Kalau dulu saya bisa curhat masalah hati dan segala keresahannya di blog, kini ada vlog, sarana yang dimanfaatkan Karin.

Mungkin di era anak saya beranjak remaja nanti pun akan ada sarana baru untuk mereka meluapkan emosi atau rasa apapun. Dan ya, saya pun memutuskan untuk menonton semua video di channel Karin sampai kelar. Saya merasa harus tahu, seperti apa remaja zaman sekarang bertingkah. Cewek ini mungkin termasuk yang apes.

Apes? Ya! Dari ratusan ribu remaja Indonesia yang gaya hidupnya tak jauh sama dari Karin, justru dia yang ketiban sial menjadi sorotan publik. Padahal, masih banyak remaja lain yang juga punya konten video serupa, atau bahkan lebih liar dan kurang ajar. Do I accept the bastard things they did? Tentu saja tidak! Saya hanya miris dan was-was.

Kalau memang video Karin disturbing, kenapa kita justru menggebu-gebu bikin konten berita tentangnya? Kenapa tidak beramai-ramai klik flag, melaporkan konten tak baik tersebut pada YouTube, agar mereka bisa blokir channel itu? Jujur saja, tipikal bangsa ini memang suka sekali membicarakan keburukan orang lain. Ya, saya pun juga begitu.

Well, Karin diusung dalam berita super dramatis di berbagai media. Tentang betapa ironisnya dia yang peraih nilai sempurna ujian nasional matematika, sekolah memakai jilbab, lalu jadi liar seperti sekarang ini. Tentang betapa dia ditakutkan bakal jadi panutan negatif bagi remaja lainnya. Tentang, ah, sungguh brengseknya mulut dia.

Apa juga bukan ironis, saat media berlomba-lomba memberitakan kebusukannya, tanpa menghargai bahwa dia pernah menjadi seorang juara dalam bidang pendidikan? Tangisannya dalam video confession tentu saja bikin tenggelam video kiat-kiat belajar ala Karin Novilda yang pernah ada tiga tahun lalu, meski bukan dia yang unggah.


Hidup kita ini, kalau diisi dengan hal-hal negatif, tentu bakal bikin semakin pening kepala. Senang akan keburukan orang lain untuk dijadikan bahan rumpi, bukan hal yang baik untuk kesehatan. Kenapa cara Karin edit video-videonya luput dari sorotan? Tentang dia bisa menghasilkan uang sendiri dari pekerjaannya sebagai model pun tak menarik dijadikan nilai plus.

Bisa bayangkan, dalam satu bulan, cewek ini bisa mengumpulkan uang hingga ratusan juta dari statusnya sebagai selebgram dan kreator YouTube. Dalam dua hari saja, dia bisa meraup penghasilan hingga 30 juta rupiah dari promo Instagram miliknya. Dan yang masih hangat jadi bahan berita, dia mematok harga 100 ribu rupiah untuk sekali like atau love di sosial media.

Karin Novilda tentu saja hanya sebagian super kecil dari remaja labil lainnya yang mengidolakan sosok selebriti Hollywood dengan kehidupan bebas mereka. Kenapa bisa begitu? Mungkin bisa dijawab dengan pertanyaan balik, kenapa orang tua dan sekolah tak lagi mendidik secara ketat seperti tiga dekade lalu? Ini bukan soal perkembangan tekhnologi.

Terkadang, pada akhirnya saya jadi setuju pada cara mbah uti saya memberi hukuman saat saya berbohong bilang pergi ke utara, yang sesungguhnya saya justru ke selatan. Pada akhirnya saya sadar pentingnya penjalin rotan yang disandarkan mbah kakung si samping meja tempat saya belajar. Ya, terkadang teror semacam itu memang baik juga.

Dengan tidak memungkiri perkembangan zaman dan tekhnologi, sebaiknya kita tetap menjunjung tinggi bagaimana dari dulu kita berbudaya. Menjadi liberal bukan berarti tak punya batas norma, dan tiap orang tua seharusnya tahu itu. Jangan jadikan kemajuan berpikir dan bertindak ala barat sebagai pembenaran. Ingat saja di mana kita lahir dan berdiri.

Ah, maafkan curhat panjang dari sisi emak-emak dalam diri saya ini. Bukan bermaksud apa-apa, ini hanya sekedar luapan uneg-uneg, seperti Karin yang menangis di video karena kecewa pada Gaga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny