Langsung ke konten utama

Jangan Tanya 'Kapan?'

Hatinya entah kenapa terasa ringan dan bahagia hari ini. Pertama kali turun ke jalan di tahun 2017, saya langsung menuju Legipait yang mulai hari ini mencoba untuk buka pagi, dari jam 07.00 sampai jam 13.00, lalu lanjut lagi jam 16.00 sampai close order di jam 23.00. Ada janji sama Regina, ketemu untuk kasih kaos yang saya share di Instagram waktu lagi beres-beres almari. Kami datang kesiangan, tapi masih sempat ngobrol panjang sampai kedai ditutup.

Bertemu dengan teman-teman yang sudah berkeluarga, mau tak mau bicaranya sedikit banyak ya seputar kehidupan rumah tangga, meski masih diselingi rerasan soal kabar-kabar yang belakangan marak beredar di media. Curhat colongan pun tak mau ketinggalan. Tentang bagaimana sedihnya saat ada yang menanyakan 'kapan' untuk hal-hal yang belum terwujud. Regina pun kadang tertekan saat ada yang nyeletuk, "Kapan punya baby?"

Bukannya tak ingin, setiap pasangan yang sudah menikah juga pada umumnya mengharapkan kehadiran seorang anak. Tentu ada bayak faktor, kenapa hal itu belum terwujud. Bisa dari sisi medis, mungkin sel telur dan sperma yang sedang kurang bagus, atau karena sama-sama lelah karena pekerjaan, dan mungkin juga pola hidup yang (terpaksa) kurang sehat. Sedangkan secara naif, bisa dibilang, "Mungkin belum waktunya. Masih dikasih kesempatan dulu buat ngumpulin duit."

Tak hanya Regina yang punya masalah seputar 'kapan' ini. Sudah setahun sejak saya tak lagi menjalin hubungan dengan cowok, hidup saya jauh dari kata tanya yang satu ini. Kecuali saat keluarga besar berkumpul, masih juga ada yang iseng bertanya 'kapan'. September tahun kemarin, saya akhirnya punya pacar lagi, Mas Gigih. Di sini drama dimulai. Saya yang tadinya belum berpikir terlalu jauh, mau tak mau jadi resah sendiri. Pasalnya, hampir di setiap obrolan meja makan, uti selalu membahas soal 'kapan', meski tidak secara lugas.

"Kamu ini pacaran kok kayak iya, kayak enggak. Di rumah terus, nggak pernah diapeli." "Uti sudah 82 ya. Bisa nggak lihat Rangga disunat? Bisa nggak lihat kamu nikah?" "Uti kok dimimpiin orang-orang yang sudah meninggal terus ya. Kamu sama Gege gimana? Masih jalan kan?"

Terkadang terasa tidak relevan, saat beliau cerita soal mimpi-mimpinya, lalu langsung lompat ke hubungan saya dengan Mas Gigih. Saya orang yang tidak suka hal-hal tak lugas, tapi saya tahu pembicaraan uti mengarah ke mana. Sering hal ini jadi bikin saya malas pulang ke rumah, dan lebih sering berada di luar, entah itu di kantor, studio Mas Gigih, atau si cafe-cafe yang punya wifi. Jujur, saya sempat merasa tertekan saat menyadari bahwa uti (dan papa, meski tak pernah bilang) menaruh harapan tinggi pada Mas Gigih.

Hidup tak semudah membalikkan telapak tangan, atau kalimat bekennya: hidup tak semudah mulut Mario Teguh. Di tengah hubungan saya dengan Mas Gigih yang sempat surut memasuki bulan kedua dan ketiga, saya harus (hampir setiap hari) dihadapkan pada kalimat-kalimat semacam itu di rumah. Saya sempat hampir menyerah dan ingin menyudahi saja urusan percintaan ini, sebelum semakin jadi drama. Namun saya pikir lagi, kenapa harus menyerah secepat itu kalau masih ada waktu untuk berbenah?

Bahkan saat Mas Gigih sempat menyerah, secara lugas bilang kalau dia tak lagi bisa melanjutkan hubungan ini, saya meminta kesempatan padanya untuk memperbaiki apa yang dia rasa kurang dari saya. Bagi saya, menjalin hubungan di usia saya sekarang bukan lagi soal memilih, menjalin, tak cocok, lalu bubar. Bagi saya, sudah saatnya kami bisa mengatasi setiap masalah yang datang dalam hubungan kami, bukan keluar dari sana. Dan mungkin juga, saya sudah lelah harus mengulang hal yang sama dengan cowok lain: kenalan lagi.

Setelah semua itu, hubungan kami berangsur membaik. Hal terpenting adalah, dia sudah tak lagi dingin pada saya. Kami bahkan lebih punya waktu untuk ngobrol, ketimbang dua bulan sebelumnya. Dan hari ini dia juga jadi salah satu yang bikin hati saya ringan serta bahagia. Ya. Bahagia saya sereceh bisa melihat dia, dan mendengar suaranya menyapa saya. Naif? Iya, untuk hal satu ini saya akui saya tak bisa tidak over excited. Well, down on my knees, saya selalu meminta agar jalan kami dilapangkan dan dituntun ke arah yang baik dan benar.

Tapi... Jangan tanya 'kapan', karena saya sendiri belum tahu apakah saya sesiap itu untuk menyegerakannya dalam waktu dekat. Yang jelas, kalau ditanya apa keinginan saya tahun ini, selain bertemu Rangga, ya saya ingin menikah dengan Mas Gigih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny