Langsung ke konten utama

Rangkuman Akhir Tahun, Bekal Perjalanan Menuju Level Selanjutnya

2016 sudah habis masanya. Banyak hal yang dipelajari dari tiap bulannya yang berjalan. Dimulai dari awal tahun yang sangat berat dan nyaris bikin hati sekarat. Beruntung pelampiasan tepat saya dapat bersama teman-teman yang hebat dan bersahabat. 

PILIH YANG POSITIF

Januari. Pertama kali mendaki gunung -meski kata orang, Panderman hanya gunung kecil nan mudah didaki- dan berhasil menjejak puncak Basundara di tengah kabut tebal sisa hujan badai sepanjang perjalanan naik, tentu jadi hal hebat untuk mengawali tahun.

Tentang hidup yang tak akan berakhir hanya karena patah hati ditinggal kekasih, saya sudah tahu dan paham benar. Pelajaran pertama yang saya dapat di tahun 2016, soal ke mana kita akan mengarah setelah dirundung kecewa, larut sedih atau cari happy.

HAL BARU TIDAK ADA DI ZONA NYAMAN DAN AMAN

Anak pantai yang dibawa ke gunung, begitulah gambaran keadaan saya waktu itu. Dan anak pantai ini ternyata ketagihan naik gunung, lalu mulai ambil keputusan yang sudah empat tahun dipendam karena kecilnya nyali. Anak pantai ini ke Ranu Kumbolo.

Sejak 2012, setiap ada perjalanan ke danau yang terletak di kaki Gunung Semeru ini, saya selalu batal ikut dalam rombongan. Nyali bukanlah hal utama dan jadi alasan untuk melakukan perjalanan. Ternyata saya hanya butuh waktu dan kemauan untuk jalan maju.

Pelajaran kedua. Meninggalkan zona nyaman dan aman -dalam konteks ini: pekerjaan tetap- butuh nyali lebih besar ketimbang pertimbangan mendaki ke Ranu Kumbolo selama empat tahun. Dan ternyata, keputusan ini yang membawa saya pada banyak hal baru.

Ingin tahu lebih banyak hal yang terjadi di luaran sana? Ada baiknya memang mengorbankan rutinitas selama bertahun-tahun. Dunia saya ternyata tak sesempit layar 21 inci dan gambar pemandangan indah yang tak pernah bisa saya jangkau sebelumnya.

Oke, ini memang egois. Awal 2016 benar-benar jadi momen di mana saya hanya perduli pada diri sendiri, terjun bebas dari langit, menikmati keindahan di bawah saya, tanpa khawatir ada yang kehilangan jika saya jatuh. Saya ada di titik paling bebas.

Sebuah pelampiasan, setelah lima tahun yang penat, penuh hujat saat tak bisa lama kumpul teman, atau tak bisa konsisten pada sesuatu di luar pekerjaan. Sebuah pelampiasan saat akhirnya waktu adalah sepenuhnya saya yang kendalikan, bukan lagi jam kantor.

NEKAT ADALAH KUNCI!

Berfoya-foya dengan uang bakal DP kredit mobil yang tak jadi dibeli dan tabungan bakal nikah yang juga (alhamdulillah) kandas. Kembali ke riuhnya ibukota barang seminggu, bertemu beberapa orang baru yang biasa saja. Disusul kemudian dengan perjalanan penyegaran bermanfaat ke Bandung dalam tiga minggu.

Lagi-lagi saya mengatasnamakan pelampiasan untuk perjalanan ini. Pelampiasan yang terencana lebih tepatnya. Saya hajar tiga minggu di Bandung dengan banyak-banyak belajar dari seorang teman yang adalah penjahit super asyik. Dan pulang-pulang, saya bawa Elliot.

Selama lima tahun dikurung huruf, kata, dan kalimat dalam jam kerja, sering saya Googling tempat dan harga kursus menjahit di Kota Malang. Semua mahal, merujuk pada jumlah pemasukan bulanan. Berburu mesin jahit di online shop, dan semua hanya dipandang.

Pelajaran ketiga. Untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, terkadang nekat justru jadi kunci utamanya. Nekat yang tentunya dengan perhitungan yang matang, bukan hanya diawang-awang. Nekat yang visi ke depan juga harus sudah diangan-angan.

JADILAH LEBIH DEWASA

Well, di tengah kegilaan foya-foya, di momen jelang tengah tahun, luka hampir sembuh akibat patah hati dan kecewa kembali dikorek. Drama dimulai kembali, dan jadi cukup rumit karena urusannya soal percintaan para perempuan tanggung ala bocah belasan tahun.

Segalanya kelar dengan tidak baik-baik. Apa yang sudah direlakan, akhirnya digantung lagi dengan tambahan baluran bumbu kebencian untuk melengkapi patah hati dan kecewa tadi. Dan lalu saya dengan tidak elegan, memutuskan untuk tak mau tahu tentang dia lagi.

Sambil tetap skeptis dan over protective pada diri sendiri soal cinta, semesta menggiring saya ke dekat seseorang yang sama sekali tak pernah terlintas di benak, bahkan untuk bisa ngobrol sedikit dengannya. Dia, si idola biasa yang jadi sang istimewa.

Hampir dua bulan kami larut dalam chit-chat receh ala abege pedekate, dan di bulan berikutnya, hubungan kami naik level. Dia, sebenar-benarnya laki-laki. Pemikirannya sangat realistis, di tengah sikapnya yang bijak. A man, not a boy who think he can.

Pelajaran keempat. Waktu yang belum cukup lama memang, tapi dia sudah banyak memberi saya pelajaran baru. Bukan memanjakan dengan menuruti apa maunya saya, tapi dia, dengan cara yang bagi saya cukup kejam, membuka mata saya bahwa sudah waktunya jadi dewasa.

LIFE MUST GO ON

Semester kedua di tahun 2016 ini memang lebih banyak diisi perenungan, setelah di semester pertama saya puas merasakan apa yang belum pernah saya rasakan, dan melakukan apa yang belum pernah saya lakukan. Semester kedua di tahun 2016 ini terasa lebih berat dari perjalanan hidup saya yang sudah-sudah.

Well, semua yang sudah dirasakan sepanjang 2016, sudah seharusnya jadi bekal untuk melangkah maju, menaklukkan 2017. Semua rasa penasaran yang sudah dibayar di 2016, tak lagi perlu dicari di 2017. Dan semua kepahitan yang berhasil dilewati di 2016, bakal bikin kita lebih kuat dan siap untuk naik ke level selanjutnya.

Selamat tahun baru 2017!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny