Langsung ke konten utama

Selamat Jalan Bapak, Melati Sudah Lebih Kokoh Malam Ini

Lututku lemas saat terdengar pintu ruang ICU dibuka, dan Melati menghambur keluar sambil menangis. Aku tak kuasa melangkah mendekat, dan hanya sanggup berdiri kaku di dalam pelukan Winda, meremas keras bahunya. Tak berani pun aku melihat ke arah sahabatku yang sedang patah hati itu, karena air mataku juga sudah bercucuran.

Malam-malam sebelumnya, Melati sempat ingin bertemu dan menghabiskan semalaman bersamaku, yang sayangnya di waktu yang sama, aku sudah punya agenda lain. Kami lalu hanya melanjutkan kabar-kabar terbaru lewat Whatsapp grup. Ada Winda di dalamnya, selain aku dan Melati. Grup super random yang hanya bicara soal makanan dan musik.

Hampir jam 11 malam kemarin, Melati masih sempat berkabar, "Bapakku koma mbak."

Aku dan Winda berusaha transfer kekuatan batin lewat rangkaian kata-kata manis untuknya, walau di balik itu, kami sama-sama khawatir. Mengingat riwayat sakitnya bapak sepanjang dua bulan terakhir, juga hal-hal tak biasa yang diceritakan Melati pada kami, rasanya seperti sudah diberi peringatan untuk bersiap-siap. Dan Winda adalah orang yang paling tak bisa diam, ingin segera menemui Melati.

Sore ini, Selasa, 13 Juni 2017, aku dan Winda langsung bertolak ke rumah sakit selepas acara kantor. Siangnya, Melati cerita kalau jantung bapak sempat berhenti, dan ditangani dengan alat kejut. Kondisi membaik, walau masih kritis. Setidaknya, itu kabar terakhir yang kami terima. Aku dan Winda memasuki gedung itu dengan perasaan campur aduk. Entah kenapa, jantungku berdegup kencang.

Sudah ada beberapa teman lainnya di sana. Mereka, sama seperti kami, ingin memastikan Melati baik-baik saja. Aku dan Winda berdiri saja tak jauh dari ruang ICU. Kami bahkan tak langsung menyapa teman-teman yang sudah datang duluan. Kami sama-sama memandangi pintu itu, di mana ada Melati di dalamnya, sedang dipanggil oleh dokter. Cemas. Tanganku dingin dan kaku. Mungkin Winda juga merasakan yang sama.

Tawa, tangis. Sehat, dan sakit. Hidup, pun mati. Semuanya ada di tangan-Nya. Semesta berkehendak memeluk bapak, saat Melati masih ingin membuat bapak bangga dengan karya-karyanya. Semesta lebih dulu mengangkat bapak, sebelum sempat Melati mengajaknya pergi ke bioskop menonton film hasil karya anak perempuannya itu. Namun, semesta selalu menyimpan hal baik di balik kepedihan.

Melati ditinggalkan bapak, dalam keadaan bapak tentu sudah bangga punya malaikat kecil jago main biola. Melati ditinggalkan bapak, untuk jadi lebih kokoh lagi ketimbang hari kemarin. Melati ditinggalkan bapak, karena akan ada hal lain menunggu untuk diwujudkan di depan sana. Wujudkan! Meski tanpa bapak. Bikin bapak makin berlipat bangga dari atas sana, dan bisa berbisik pada tujuh bidadari, "Itu anakku. Anakku yang hebat!"

Melati sudah ikhlas. Melati sudah tahu akan berakhir seperti ini. Dia hanya tak menyangka akan secepat hitungan jam dari kondisi membaik, yang sempat memberi secercah harapan. Melati tak ingin dilarang menangis. Melati tak bisa membohongi perasaannya yang pedih malam ini. Melati menangis dan meluapkan perasaannya sambil bersimpuh dikelilingi teman-temannya. Biarkan Melati begitu, sampai habis kekecewaannya.

Yang paling penting, Melati sudah ikhlas. Dan aku yakin, dia mulai jauh lebih kokoh dari sebelumnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny