Langsung ke konten utama

Hari Baru


Pagi yang cerah with the blue and cloudy sky. Ini adalah pagi yang ke-tiga saya bangun di kamar yang bukan tiny greeny square. Seperti dua pagi kemarin, sekitar enam pagi saya sudah membuka jendela. Udara pagi ini terasa segar daripada biasanya. Saya terdiam memandang ke luar jendela, memperhatikan hutan di samping kamar, menghirup pagi, dan mengagumi langit. Segarnya pagi ini sesegar kehidupan baru saya di sini.

Saya memutuskan berangkat ke kota ini sehari sebelum pergi. Cukup mendadak memang, tapi saya sudah pikirkan baik-baik dan siap mental atas apapun yang akan terjadi nantinya. Hari Selasa, 14 Desember, pagi-pagi Henri menjemput saya di Rumah Merah Muda. Kebetulan sekali, dia sedang ada tugas kantor ke Samarinda, jadi saya nebeng mobilnya sampai Samarinda. Sepanjang perjalanan cerah sekali, apalagi ditambah alunan album Weezer terbaru dari MP3 player di mobil Henri, rasanya perjalanan jadi semakin menyenangkan dan semangat. Kami ngobrol banyak hal untuk mengalihkan kantuk. Dia juga menceritakan rencana pertunangan dan pernikahannya.

Sampai di Samarinda, saya menghubungi Oyin karena handphone Cecii nggak aktif dari semalam. Untung saja tempat kami –saya dan Henri- makan nggak jauh dari rumah Oyin. Selesai makan, saya mengucapkan banyak terima kasih sama Henri yang sudah jadi teman –kakak, tepatnya- yang baik untuk saya. Dia menasihati saya supaya hati-hati dan dia berharap yang terbaik buat saya, begitupun sebaliknya. Oyin membantu saya mengangkat tas dan meletakkan sebagian di rumahnya sebelum kami meluncur ke Red Front (RF).

RF sepi, nggak seperti waktu pertama kali saya ke sana sekitar sebulan yang lalu. Ada Dwi di sana, tapi dia terlalu sibuk untuk sekedar duduk ngobrol bersama kami, atau mungkin dia canggung mau duduk di dekat Oyin. Saya mencoba menghubungi Cecii lagi, tapi tetap nggak ada hasil yang menyenangkan. Akhirnya kami menghubungi teman-teman yang lain dan sukses menarik Jali dan Ule ke RF. Jali datang lebih dulu daripada Ule. Nggak lama setelah kami ngobrol sedikit, Ule datang. Dia mempertanyakan soal kepergian saya ke Bontang, dan saya menjelaskan sedikit tentang rencana saya bekerja di kantor tempat Ical bekerja. Saya basa-basi mengajak Ule untuk ikut ke Bontang, tapi ternyata basa-basi saya direspon positif. Akhirnya Jali tertarik juga untuk ikut bersama kami.

Jadi lah mereka –Ule dan Jali- mengantar saya sampai Bontang dengan motor-kembarnya. Kami menempuh perjalanan 3,5 jam, plus ganti ban belakang motor Jali. Kami sampai di Bontang sekitar tujuh malam. Kantor Ical adalah persinggahan pertama kami. Duduk sebentar di lobi kantor, tiba-tiba Ical memanggil saya ke dalam untuk interview. Cukup shock juga, pasalnya saya nggak nyangka kalau harus interview malam itu juga. Setelah deal diterima bergabung di kantor itu, saya berkenalan dengan beberapa karyawan lain yang sedang bekerja. Lalu salah satu dari mereka ditugaskan untuk memperkenalkan saya pada Adobe Indesign (Id) yang memang belum pernah saya kulik sama sekali. Biasanya saya hanya menggunakan Adobe Photoshop dan Corel Draw untuk menyelesaikan layout atau sekedar mengedit foto.

Setelah cukup basa-basi di kantor malam itu, Ical mengajak kami makan di Koperasi PKT, pujasera yang –menurut saya- cukup keren dan asik untuk kongkow sama teman-teman sambil online. Kami makan malam, jajan-jajan, ngobrol, dan online. Sampai larut malam dan sebagian besar pedagang sudah menutup gerainya, kami masih juga betah di situ. Kami kembali ke kantor hampir tengah malam, duduk lagi di lobi sambil menunggu Ical selesai memeriksa halaman yang sudah siap dikirim ke pusat untuk dicetak. Kami –saya, Ule, dan Jali- memilih duduk di lobi sambil baca buku. Kebetulan sekali saya membawa beberapa buku yang memang belum selesai saya baca sejak dari Balikpapan.

Kami pulang ke kontrakan Ical lewat tengah malam. Ternyata tempatnya lumayan jauh dari kantor. Kami harus melewati hutan semacam di Jalan Minyak Balikpapan. Dingin sekali malam itu. Saya dibonceng Ule. Sepanjang perjalanan, kami mengagumi alam tengah malam itu. Dan saat saya menengadah, bukan main, bintang-bintang Bontang seperti tersenyum manis mengucap selamat datang. Saya terus menengadah sampai kami bertemu bundaran mirip seperti yang ada di Balikpapan Regency. Saya kembali teringat pada adik saya dan pahit manis yang sudah kami lewati selama setengah tahun di sana. Begitu jauh saya meninggalkan dia. Saya sangat sedih, namun saya harus rela, demi kelangsungan hidup kami berdua.

Sampailah kami di rumah mungil dengan tampilan luar yang sangat sederhana ini. Rumah ini dikontrak oleh kantor kami dengan harga enam juta selama setahun. Cukup murah untuk ukuran rumah yang terletak di perumahan seperti ini. View di samping rumah ini adalah hutan, yang entah seberapa luas ke belakang sana. Masuk ke dalam, dan mendapati betapa berantakannya rumah cowok-cowok ini. Namun saya sangat suka desain rumahnya. Ukurannya hanya sekitar 5 x 3 meter, di dalamnya terdapat satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Ruang tamunya mungil, sangat mungil. Rumah ini cocok untuk ditinggali sendiri oleh seorang pekerja yang hanya menghabiskan sisa waktu dari kantor untuk beristirahat saja. Tidak ada space yang tepat untuk dikondisikan sebagai dapur di sini, pantas saja Ical dan beberapa teman kantornya, katanya, sering makan di luar. Saya langsung jatuh cinta pada Tiny Choco Square Huis ini.

Obrolan kami sampai menjelang pagi ditutup karena lelah dan kantuk yang nggak tertahan lagi. Saya tidur cukup nyenyak dini hari itu, entah yang lainnya. Saya tidur sendirian di kamar, sementara yang lain di ruang tamu. Dingin, nggak ada selimut, dan yang lebih menyedihkan: nggak ada guling. Tapi semua itu nggak terlalu jadi persoalan. Saya memejamkan mata dengan tenang setelah berkabar dengan Airen.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wahai Employee! Jangan Resah Akan Tambahan Jobdesc dan Gaji yang Segitu-Gitu Melulu

Pinterest/mshouser.com Pernah ada masanya, saya benar-benar tak suka dengan ide 'Employee of The Month', 'The Best Employee', atau apalah itu namanya. Sebagai poseur, saya pun mengonsumsi (mentah-mentah) literasi kiri dan perlawanan. Dari yang pernah saya baca, ada yang mengatakan bahwa saat seseorang menjadi karyawan terbaik di tempat kerjanya, maka dinobatkanlah pula dia sebagai orang yang paling 'babu' dan gampang disetirnya. Saya pernah mengamini itu, dan merasa miris, kasihan, jika ada teman yang dapat penghargaan semacam yang saya sebut di atas. Pernah ada masanya, saya ikut menyuarakan keresahan hati para employee lewat banyak media, termasuk media sosial yang pastinya bisa dibaca khalayak ramai. Soal kerjaan yang makin ditambah, tapi gaji segitu-gitu saja. Soal boss yang seenaknya perintah sana-sini, sedangkan dia (kelihatannya) jalan-jalan melulu. Soal buruknya management perusahaan yang (rasanya) merugikan pekerja level staff lapis bawah. S

Ada yang Harus Dikorbankan dalam Tiap Pilihan, Goodbye (Again) KapanLagi Youniverse

Memutuskan untuk resign di tengah semangat yang masih super membara untuk bekerja, rasanya sedih. Sangat sedih. Namun kesedihan itu setara besarnya dengan keinginan untuk bisa punya anak. Dan kegalauan yang berkecamuk di dada ini sungguh bikin sesak, meski keputusan sudah diambil. Ya, jika ingin proses kehamilan ini atau yang selanjutnya nanti lancar, saya diwajibkan untuk bedrest. Totally bedrest. Tak ada tawar-menawar untuk hal ini. Pilihannya hanya dua: tetap bekerja dan akan terulang lagi kehilangan-kehilangan lain, atau fokus mempersiapkan diri untuk punya anak. Bukan tanpa alasan saya masih punya keinginan untuk bisa bekerja seperti biasa. Saya adalah tulang punggung keluarga bapak dan nenek. Satu-satunya yang bisa berdiri paling tegak saat harus menopang apapun di rumah. Saya juga masih ingin bisa membantu sekolah adik sampai kelar. Namun... Mama mertua saya bilang, materi bisa dicari dengan berbagai cara selain harus ngantor setiap hari. Akan ada nanti rezeki da

Bukan Quarter Life Crisis, Drama Saya Justru Dimulai di 30

Bicara soal quarter life crisis, mungkin saya termasuk dalam barisan orang-orang yang tak sempat mengalaminya. Saya pertama kali bekerja saat usia menginjak 19 tahun. Gaji 300 ribu di tahun 2003 sudah bisa mencukupi biaya kos, katering harian, dan kirim uang untuk belanja bulanan di rumah nenek. Yap! Titik balik hidup saya berada di masa remaja yang seharusnya masa paling indah. Kakek meninggal setahun pasca pensiun, sehingga kebutuhan kami selama beberapa tahun bergantung pada tabungan sisa penjualan rumah besar yang sudah dibelikan rumah kecil. Usia 25 bukan lagi berisi kegalauan kapan lulus kuliah, karena saya menyelesaikan D2 setengah tahun lebih cepat dari mahasiswa lainnya. Usia 25 juga bukan momen di mana keluarga resah bertanya kapan saya akan menikah, karena di tahun itu saya sudah punya bocah kecil berusia 3 tahun. Usia 25 sudah jadi waktu-waktu yang biasa saja bagi saya. Pagi mengejar matahari untuk bikin film sablonan, siang menata papan-papan dan menempelkan kaos di atasny